Membongkar Mitos-Mitos Tentang Perempuan
[ Yoga ZaraAndritra ]
“Gagasan bahwa ketidaksetaraan jender
itu ada secara alamiah dan tidak dapat dirubah didorong sebagai
fakta-fakta ilmiah, namun sebaliknya, dalam kenyataan, hal itu merupakan
bagian dari ideologi politik yang reaksioner. Hanya dengan cara
menjelaskan sejarahnya serta memberi bukti-bukti ilmiah munculnya
masyarakat manusia serta perkembangannya, semua mitos tersebut dapat
dibongkar” (Pat Brewer)
Saya terkejut ketika dia bilang “dalam
kondisi tidak setara pun peradaban manusia sudah sebegini majunya,
bayangkan jika antara kaum laki-laki dengan perempuan setara,
kemajuannya bisa lebih dari ini”. Saya lantas bertanya, memangnya kenapa
dengan kaum perempuan dan laki-laki? Sederet pertanyaan pun muncul
akibat dari dilontarkannya pernyataan di atas kepadaku. Apakah ada
ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan? Apakah ketidaksetaraan
menghambat kemajuan peradaban umat manusia? Bukankah dunia ini baik-baik
saja, normal-normal saja? Kita hanya tinggal menjalaninya dengan
telaten dan tidak banyak bertanya.
Ibuku mencuci baju, piring dan mengasuh
adikku yang paling kecil di rumah. Ayahku pergi bekerja ke kantor. Adik
perempuanku ada yang sudah menikah, ada yang masih sekolah. Dan banyak
ibu seperti itu, juga banyak adik perempuan dari seorang kakak laki-laki
sudah menikah atau dinikahkan. Dan aku sendiri sekolah di sebuah
universitas. Sudah begitu umumnya seorang ayah bekerja di luar rumah dan
seorang ibu mengurusi pekerjaan rumahan. Sudah begitu umumnya pula anak
perempuan tidak lebih prioritas dari seorang anak laki-laki dalam soal
pendidikan. Dan itu biasa-biasa saja, memang umumnya begitu.
Kemudian aku bersama teman laki-lakiku,
biasa saja, nongkrong di depan gedung kuliah dan menafsir-nafsir
perempuan yang lalu lalang. Ada perempuan yang memakai celana tipis
dinamai celana legging, lalu kita komentari besar kecil pantatnya, atau
memakai baju super ketat kemudian kita komentari payudaranya dan lain
sebagainya dan lain sebagainya. Pokoknya, perempuan yang tidak berdandan
ala perempuan masa kini kita anggap kurang menarik, kurang sexy dan
kurang mempesona. Dengan kata lain, perempuan itu bermakna sejauh mereka
punya daya tarik seksual. Normal saja bukan jika lelaki seperti itu,
perempuan itu kan pelayan kebutuhan sex laki-laki maka dia harus
menarik?
Apa salahnya coba jika perempuan diharuskan
hanya mengurusi soal-soal rumahan, jika mereka menerimanya dengan senang
hati? Dan apa salahnya coba jika perempuan tak perlu pintar-pintar amat
dan tinggi-tinggi amat dalam berpendidikan, toh akhirnya ke kasur dan
ke dapur juga? Karena Perempuan harus menjadi penyedia kebutuhan dapur
dan kasur laki-laki, demi menjaga produktifitas laki-laki. Perempuan
adalah makhluk rumahan yang hanya punya arti sejauh dia telaten mengurus
dan menata rumah. Juga perempuan adalah makhluk lemah yang harus berada
di bawah perlindungan laki-laki, oleh karenanya tugas mereka yang
pertama dan utama adalah tugas-tugas ‘rumahan’.
Menurut kawanku yang melontarkan pernyataan
di paragraf awal, justru di sinilah masalahnya, asumsi kita tentang
perempuan begitu ‘tidak setara’. Perempuan diposisikan sebagai makhluk
lemah kemudian diisolasi ke ranah pekerjaan ‘individual’ semata, seperti
mengasuh anak, cuci piring, memasak dan lain sebagainya; sebut saja itu
sebagai pekerjaan rumahan. Sementara pekerjaan ‘sosial’ atau pekerjaan
‘luar rumah’ dianggap hanya sanggup diemban oleh laki-laki, karena hanya
laki-lakilah yang kuat; seperti mencari nafkah, berorganisasi,
berpolitik, berpendidikan, dan lain sebagainya. Seolah-olah itulah
takdir biologis bagi perempuan dan bagi laki-laki. Parahnya, hal itu
diterima begitu saja baik oleh laki-laki maupun perempuan. Bahkan,
diinternalisasi oleh perempuan itu sendiri, seolah-olah ketidaksetaraan
perempuan atas laki-laki adalah takdir biologis.
Harusnya pekerjaan rumah tangga adalah
pekerjaan individual yang bisa saja diemban oleh laki-laki atau bahkan
perempuan tergantung kesepakatan pembagian kerja diantara mereka. Alasan
bahwa tempat “alamiah” bagi perempuan yang pertama-tama dan yang paling
utama dalam keluarga adalah sebagai perawat suami dan anak, mendapatkan
pembenaran di dalam teori-teori determinis biologis (Kaum
determinis-biologis berargumen bahwa biologis kita tak sekadar membentuk
tingkah laku (keberadaan) manusia, namun juga menentukan
ketidaksetaraan sosial dan ekonomi (dalam masyarakat berkelas,
tentunya)), padahal teori-teori itu sangatlah lemah secara ilmiah. Dalam
bukunya “Dispossesion of Women”, Pat Brewer menulis, “Tidak ada bukti
yang mendukung teori-teori determinis biologis, walau sebenarnya mereka
pun tak terlalu bersandar pada bukti-bukti.Teori-teori demikian itu
ideologis…… Adanya ideologi seperti determinasi biologis tersebut adalah
untuk melayani kepentingan sebuah kelas”.
Selanjutnya Pat Brewer menulis, “…bahwa
ketidaksetaraan ras, etnik, kelas dan, khususnya, jender, itu
dikarenakan penyesuaian genetik individual. Para penganutnya berargumen,
misalnya, bahwa gen kita menentukan tingkah laku dan hubungan-hubungan
lelaki-perempuan―yang tujuannya sekadar untuk memaksimalkan
kesempatan-kesempatan menyukseskan reproduksi generasi mendatang. Itu
artinya, bahwa peranan jender, perkawinan, praktek-praktek hukum dan
lembaga keluarga merupakan turunan dari upaya untuk mereproduksi
genetika. Teori-teori determinis biologis seolah-olah memiliki
keabsyahan ilmiah padahal, kenyataannya, merupakan pandangan yang
parsial dan distorsif―merupakan pembenaran bagi ideologi status quo.
Mereka berusaha membenarkan: bahwa sistim-sistim yang tak adil dan
menghisap itu tak bisa ditolak, tak terhindarkan, dan tak bisa diubah,
karena alamiah dan moralis”.
Maka domestikasi terhadap perempuan bukanlah
hal yang ‘alamiah’ oleh karenanya tak bisa diubah. Ada landasan sejarah
yang menyebabkan perempuan didomestikasi, oleh karena itu pula
pembebasan perempuan bukanlah hal yang utopis melainkan ilmiah. Lebih
jauh lagi bahkan F. Engels dalam “The Origin of the Family, Private
Property and the State”, menyodorkan bukti-bukti ilmiah pada kita bahwa
sebelum adanya kelas-kelas sosial yang didasarkan pada relasi produksi
(ekonomi), tugas-tugas rumahan seperti mengasuh anak dan lain sebagainya
tidaklah bermakna penyingkiran terhadap perempuan dari arena produksi
makanan utama atau tidaklah bermakna domestikasi (penjinakan), melainkan
pembagian kerja semata.
Aku jadi teringat kawanku, ia dan istrinya
sudah membebaskan diri dari kerangkeng kesadaran palsu tentang gender.
Kawanku ini lelaki, dia tidak bekerja mencari nafkah buat dirinya dan
istri. Pekerjaan dia adalah mengorganisir massa buruh dan tani,
selebihnya melakukan pekerjaan rumahan. Istrinyalah yang mencari nafkah,
suatu ketika dia bertanya pada istrinya “kamu gak keberatan kamu kerja
sendirian?”, istrinya lalu menjawab “kok kamu masih mempersoalkan siapa
yang harus kerja”.
Kerja-kerja rumahan yang diidentikan dengan
kerja wajib kaum perempuan sebelum adanya kepemilikan individual,
tidaklah berarti domestikasi perempuan. F. Engels melalui Morgan
menemukan bahwa domestikasi perempuan baru muncul sesudah kepemilikan
beralih dari komunal ke individual, tepatnya di zaman Barbarisme. Zaman
ini dicirikan dengan kegiatan memproduksi makanan melalui holtikultura
dan peternakan. Morgan membagi fase kehidupan umat manusia ke dalam tiga
fase, yaitu: Zaman Kebuasan (tak beradab), Zaman Barbarisme, dan Zaman
Peradaban. Di zaman kedualah ketidaksetaraan gender mulai muncul dan
berkembang sepenuhnya di zaman Peradaban.
Sayangnya, menurut Pat Brewer, Engels masih
belum bisa menjelaskan bagaimana peternakan yang semula dimiliki secara
komunal oleh klan atau suku berubah menjadi milik individu laki-laki
yang menjadi kepala rumah tangga. Mengenai hal ini akan aku bahas di
artikel selanjutnya. Sebagai penutup mari kita resapi pernyataan Lenin
berikut ini “Hari ini, masyarakat kapitalis menyembunyikan, di dalam
dirinya sendiri, banyak kasus kemiskinan dan penindasan yang tidak
kasat mata. Penyebaran keluarga miskin di perkotaan, pengrajin, buruh,
karyawan dan pekerja rendahan hidup dalam kesulitan yang luar biasa,
nyaris tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Jutaan demi jutaan
Perempuan di keluarga tersebut hidup sebagai “budak domestik”, bekerja
keras untuk memenuhi pangan dan sandang keluarga mereka dengan sangat
hemat, menggunakan biaya dari upaya kerasnya dan menyimpan biaya
tersebut untuk segalanya, kecuali tenaga kerjanya sendiri”
(‘Vladimir Lenin, 1913, Collected Works : Capitalism and Female Labour,
Pravda, Moscow’, dikutip dalam “Krisis Ekonomi Dunia: Krisis Rakyat
Miskin, Krisis Perempuan Miskin”).
Sumber : http://pembebasan.org/aku-belajar-mitos-mitos-tentang-perempuan.html
Sumber : http://pembebasan.org/aku-belajar-mitos-mitos-tentang-perempuan.html
_________
Referensi:
- Hasil diskusi dengan kawan Pembebasan Bandung
- Pat Brewer “Dispossesion of Women”
- F. Engels dalam “The Origin of the Family, Private Property and the State”
- Linda Sudiono: “Krisis Ekonomi Dunia: Krisis Rakyat Miskin, Krisis Perempuan Miskin”







Tidak ada komentar:
Posting Komentar