Organisasi Mahasiswa Sebagai Alat Perjuangan
[ Barra ]
“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana”
Kalimat
di atas adalah pernyataan dari Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar
Indonesia, yang memiliki makna sederhananya adalah setinggi apapun
pengetahuan manusia akan teori-teori dan makna dunia tapi jika tidak
mencintai kemanusiaan, maka sia-sia ilmunya. Sebagai mahasiswa, selain
belajar tentang ilmu, juga harus bisa memahami realita
sosial-masyarakat, apa yang sedang berkembang di masyarakat, apa yang
menjadi persoalan masyarakat, sehingga eksistensinya sebagai manusia
terpelajar benar-benar bisa dirasakan oleh realita bahwa segala
pengetahuannya terkonfirmasi oleh syarat-syarat untuk menjadi manusia
yang bertanggung-jawab atas sosial-masyarakatnya. Untuk memahami apa
yang terjadi di masyarakat, tidak bisa didapat dari bangku kampus atau
silabus perkuliahan. Untuk itulah keberadaan organisasi mahasiswa sangat
penting. Organisasi mahasiswa harus merupakan sebuah wadah yang bisa
menunjukkan pada kenyataan sosial bahwa masih banyak kemiskinan,
penindasan, diskriminasi dan ketidak-adilan dimana Negara abai terhadap
kenyataan rakyat bawah, untuk itulah organisasi mahasiswa sangat
dibutuhkan sebagai alat perjuangan untuk mencapai tujuan. Keberpihakan
organisasi mahasiswa terhadap rakyat juga penting sebagai penilaian
apakah organisasi mahasiswa itu serius dalam memperjuangkan
kesejahteraan rakyat, melihatnya dengan mengetahui orientasi gerakan
mahasiswa tersebut apakah benar memperjuangkan rakyat?
Pendidikan sebagai sarana perjuangan
Belajar
mengenai maksud dan orientasi (tujuan) pendidikan (dari TK hingga
Profesor) harus lengkap secara utuh. Idealnya (agar berkualitas),
pendidikan haruslah berkarakter mencintai kemanusiaan, atau dalam
istilah terkenalnya adalah “memanusiakan manusia”. Pendidikan haruslah
berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan manusia itu
sendiri, pengenalan yang obyektif dan subyektif, sekaligus. Kesadaran
subyektif dan keadaan/realitas obyektif haruslah menjadi satu fungsi
dialektik untuk memahami dunia dan kontradiksinya (bahwa ada yang
menindas dan tertindas), hal tersebut harus dipahami oleh manusia
(termasuk mahasiswa/peserta didik). Menurut ahli filsafat pendidikan
bernama Paulo Freire, ada tiga unsur yang terlibat dalam dunia
pendidikan. Yaitu: pengajar, pelajar/peserta didik, realitas dunia.
Ketiga hal tersebut diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, subyek yang
sadar (cognitive): Pengajar dan Pelajar/peserta didik. Sedangkan yang kedua adalah obyek yang harus disadari (cognizible): Realitas dunia.
——————————————
Hubungan
berkesinambungan (dialektik) seperti di atas itulah yang—menurut
Freire—tidak pernah kita jumpai dalam pendidikan ”mapan” a-la borjuis
sekarang ini. Sistem pendidikan yang ada hanyalah semata-mata menjadikan
anak didik sebagai obyek deposito dan akan diambil keahliannya,
dimanfaatkan ilmunya, untuk mengabdi pada kepentingan kapitalis
memperkaya diri sendiri, menjadi individualis. Jadi, menurut Freire,
anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Pada
akhirnya, peserta didik tak memiliki perspektif lain selain yang
diajarkan oleh kurikulum kapitalis, peserta didik menjadi mesin. Dan
yang paling parah adalah, peserta didik tidak diajarkan menjadi bagian
dalam realitas dunia yang dipenuhi ketidak-adilan (penindasan), bahkan
malah diperspektifkan menurut kelas kapitalis yang dominan dan menindas
kaum miskin, acuh, cuek terhadap penderitaan rakyat. Maka, sebagai kaum
mahasiswa-terpelajar, kita harus benar-benar mengerti bahwa apa yang
telah kita capai harus diabdikan untuk kemanusiaan, perjuangan rakyat
dan membela kaum tertindas.
Kapitalisme penyebab pendidikan mahal
Mengapa
demikian? Karena kapitalisme menciptakan landasan agar Indonesia (dan
Negara berkembang lainnya) menjadi ketergantungan akan tehnologi dan
ilmu pengetahuan terutama terkait dengan penguasaan asset sumber daya
alam sebagai salah satu sumber kekayaan Negara selain pajak. Hilangnya
kedaulatan Indonesia atas sumber daya alam membuat Negara ini menjadi
miskin, banyak hutang, ketergantungan (dependency) tehnologi
sehingga kekayaan Negara sangat terbatas, tidak mampu menjalankan
program pendidikan gratis yang berkualitas dan modern. Apalagi muncul
persoalan bahwa semakin hari kesenjangan social Indonesia semakin lebar,
yang kaya pertumbuhannya cepat (semakin kaya)-semakin mengerucut pada
sedikit orang, sedangkan yang miskin angka daya belinya semakin jatuh
dan jumlahnya makin luas. Bisa dibayangkan dalam akses pendidikan,
artinya, yang menikmati pendidikan tinggi berkualitas hanyalah mereka
yang punya uang.
Kesenjangan terhadap akses pendidikan terlihat pada angka partisipasi murni SMA.Tahun 1992,
20% orang termiskin angka partisipasi murni SMA-nya sebesar 6%,
sedangkan 20% orang terkaya angka partisipasi murni SMA-nya sebanyak
61%.Tahun 2002, 20% orang termiskin angka partisipasi
murni SMA-nya sebesar 19%, sedangkan 20% orang terkaya angka partisipasi
murni SMA-nya sebanyak 62%.Tahun 2010, 20% orang
termiskin angka partisipasi murni SMA-nya sebesar 28%, sedangkan 20%
orang terkaya angka partisipasi murni SMA-nya sebanyak 69%.
Pada angka partisipasi Perguruan Tinggi: Tahun 1992:
angka partisipasi murni PT dari 20% orang termiskin sebesar 0,1%,
sedangkan angka partisipasi murni SMA dari 20% orang terkaya sebesar
25,6%. Tahun 2002: angka partisipasi murni PT dari 20%
orang termiskin sebesar 0,6%, sedangkan angka partisipasi murni PT dari
20% orang terkaya sebesar 26,3%. Tahun 2010: angka
partisipasi murni SMA dari 20% orang termiskin sebesar 1,3%, sedangkan
angka partisipasi murni SMA dari 20% orang terkaya sebesar 36,7%. Data
tersebut membuktikan bahwa Perguruan Tinggi masih sangat eksklusif. Bila
dikonversi dalam grafik akan terlihat seperti ini:
Hegemoni kesadaran (palsu) lewat dunia pendidikan
Begitu
terus dan seterusnya. Isi kepala mahasiswa dijejali dengan doktrin
ideologi melalui instrumen pendidikan. Kurikulumnya, arah akademiknya,
teori-teorinya, dll dikanalkan menuju satu muara, yaitu rimba kesadaran
kapitalisme. Makin individualis, makin jauh dan samasekali jauh dengan
realitas objektif dunia. Kapitalisme sukses merancang bagaimana
mekanisme ideologi tersebar luas dengan efektif (baca: hegemoni) melalui
media pendidikan sekolah/kampus. Hingga, keluar sedikit saja dari
bangunan ide-ide kapitalisme merupakan sebuah kesalahan besar dan
dianggap tidak wajar, dll. Dalam situasi tersebut, kaum perempuan yang
paling tidak diuntungkan karena memperlambat proses kesetaraan
(pembebasan perempuan). Pendidikan formal maupun non-formal borjuasi
juga menyumbangkan pengawetan terhadap patriarki (penindasan perempuan).
Kapitalisme tak pernah tulus memajukan produktifitas perempuan. Dalam
dunia pendidikan, kapitalisme seolah-olah sudah ”membela” perempuan
dengan mewacanakan istilah ”wanita karir”. Bagi perempuan terpelajar
yang telah lulus dari bangku kuliah, diorientasikan berbondong-bondong
membantu memutarkan baling-baling industri (kantoran dan lapangan), tapi
dengan upah yang sangat tak sebanding dengan keuntungan majikan. Belum
lagi masalah kurikulum pendidikan yang tidak setara (tidak berperspektif
pembebasan perempuan), dll dan banyak lagi.
Contoh baik bagi pendidikan dari Amerika Latin: Bagaimana pendidikan di negara sosialis (Kuba dan Venezuela)
Hal
yang paling mendasar dari pembangunan kualitas tenaga produktif adalah
memajukan kualitas pendidikan dan kesehatan manusianya (sebagai tenaga
penggerak). Pendidikan dan kesehatan manusia adalah suatu modal dasar (human capital)
pembangun, penggerak revolusi. Maka, seharusnya pendidikan adalah hal
yang paling mendasar untuk dipenuhi kualitasnya dan diberikan semaksimal
mungkin kepada rakyat secara massal dan gratis. Tapi oleh kapitalisme,
yang diutamakan adalah pemenuhan modal keuangan dimana tenaga manusianya
dipekerjakan––tanpa menilai kapasitas manusia tersebut––untuk
mendongkrak laba produksi. Ujung-ujungnya adalah rendahnya upah buruh,
peraturan yang tak memihak buruh, hak-hak fundamental buruh tak
terpenuhi.
Di
Kuba, negerinya makmur. Sejak 58 tahun lalu (1 Januari 1956), dengan
dukungan 82 pejuang yang dilatih Alberto Bayo (bekas kolonel tentara
Spanyol), Fidel Castro mampu menggulingkan rezim kediktatoran Fulgencio
Batista yang berkuasa di negeri itu sejak tahun 1956 dan Batista
kemudian melarikan diri pada 1 Januari 1959. Di negeri makmur tersebut,
terdapat 97 persen penduduknya (usia di atas 15 tahun) bisa membaca dan
menulis. Dan sekarang 0 persen buta huruf. Dalam proses
belajar-mengajarnya, perbandingannya adalah dua puluh murid : satu guru,
untuk sekolah dasar. Untuk menengah, satu guru : lima belas murid.
Mereka juga menerapkan prinsip “pendidikan kaum tertindas” dengan
memberikan metode dialogis antara pengajar-murid-orang tua. Hubungan
ketiga unsur tersebut dikelola secara kolektif dalam makna mendekatkan
secara psikologis. Hal seperti itu, di Indonesia memang sudah
dipraktikkan di beberapa sekolah yang bertaraf internasional, yang
biayanya selangit. Hubungan-hubungan dalam civitas akademik merupakan
hubungan yang berlandaskan pada nilai nilai tinggi tentang solidaritas
antar kelas, penghargaan kepada lingkungan hidup dan prinsip
kemandirian, turunan ajaran dari sosok Ernesto Che Guevara. Situasi
tersebutlah yang memunculkan nilai baik dari hubungan guru dan murid,
yang berlangsung intensif.
Di
Kuba maupun Venezuela bisa dibilang sangat terjamin kesejahteraan
rakyatnya, termasuk yang terlibat dalam dunia pendidikan. Tanggal 14 Mei
2009 menyatakan, pemerintah Venezuela menetetapkan 30 persen kenaikan
gaji dan menambah tingkat pendapatan bagi sekitar setengah juta guru
yang masih aktif maupun yang sudah pensiun . Menurut Menteri
PendidikanVenezuela: guru-guru sekolah umum Venezuela sekarang
memperoleh lebih dari 700% dari apa yang mereka telah peroleh sepuluh
tahun yang lalu, ketika Presiden Hugo ChĂ¡vez pertama kali terpilih. Guru
di Venezuela memiliki kesejahteraan yang sangat mencukupi dalam hal
gaji dan juga kemampuan berorganisasi dan pengetahuan politik. Tidak
hanya itu, pemerintah Venezuela juga memberikan jaminan transportasi,
kesehatan bagi guru-guru yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, dan
juga memberikan cuti hamil.
Jalan keluar bagi pendidikan gratis
Dalam
statuta Universitas Gajah Mada tahun 1951 telah dijelaskan tentang
tujuan UGM yaitu ”menyokong sosialisme pendidikan”, tapi oleh orde baru,
pasal tentang ”menyokong sosialisme pendidikan” dihapuskan tahun 1992.
Kini, pendidikan kita semakin carut marut dalam perwujudannya. Mahal dan
tak terjangkau rakyat miskin yang mayoritas di negeri ini. Hasil Ujian
Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas, baik SMA/MA/SMK diumumkan Senin
26 April 2010. Hasilnya mencengangkan. Dari 1.522.162 siswa secara
nasional yang mengikuti UN terdapat 154.079 siswa (9,88 persen) yang
harus mengulang (pada 10-14 Mei 2010). Dan terdapat 267 sekolah, yang
terdiri atas 51 sekolah negeri dan 216 sekolah swasta (dari 16. 467
sekolah tingkat atas) secara nasional tidak ada satupun siswanya yang
lulus UN. Angka kelulusan UN tahun ini menurun dibanding dengan
kelulusan UN 2009. Yaitu dari UN 2009 yang mencapai 95,05 persen menurun
pada tahun 2010 menjadi 89,61 persen. Jika dilihat dari jumlah kekayaan
negara kita, sama sekali tak layak jika melihat kondisi pendidikannya.
Kemajuan tenaga produktif rakyat (salah satunya) terletak pada kondisi
manusianya, pendidikan dan kesehatannya. Adalah hal yang kontradiktif
jika negeri kaya tapi rakyatnya tak berdaya beli dalam dunia pendidikan.
Secara programatik peningkatan kekayaan Negara untuk pembiayaan rakyat
harus merupakan program yang benar-benar efektif seperti menasionalisasi
seluruh asset Negara (termasuk asset tambang dan perbankan),
menghentikan pembayaran hutang hingga rakyat sejahtera, memaksa kepada
orang kaya untuk membayar lebih pada Negara melalui progressive tax (pajak
progresif). Tentu, menjalankan program seperti itu akan sangat dimusuhi
Negara kapitalis, maka kekuatan paling ampuh menandinginya adalah
membangun kolektif perjuangan antara mahasiswa dan rakyat yang sadar dan
mau memperjuangkan masa depannya, setidaknya mahasiswa-rakyat harus
mulai memprakarsai penciptaan gerakan sosial-politik. Selesai.
Salam Pembebasan Nasional !
(Departemen Pendidikan dan Propaganda)
Sumber : http://pembebasan.org/organisasi-mahasiswa-sebagai-alat-perjuangan.html









Tidak ada komentar:
Posting Komentar