Pendidikan Untuk Kebebasan
![]() |
| Ilustrasi Siswa SD di West Papua (foto. google) |
Dimensi lain tentang
mitos konsientitasi baik oleh kellompok yang lebih koopratif ataupun
kelompok naïf adalah usah mereka untuk mengubah masalah pendidikan
menjadi masalah metodologi semata, dengan menganggap metode sebagai
suatu yang netral.ini akan mrnghilangkan atau pura-pura menghilangkan
seluruh dimensia politik dalam pendidikan, sehingga istilah pendidikan
untuk kebebasan menjadi tidak berarti apa-apa.
Sebenarnya, sepanjang
pendidikan dibatasi hanya pada metode dan teknik pengajaran bagi anak
didik, sedangkan guru dalam mencermati realitas social jika mereka
benar-benar mau melakukannya tidak lebih dari sekedar dengan mengunakan
proyektor dan kecanggihan sarana teknologi lainnya yang tawarkan
sesuatau kepada perseta didik yang berasal dari latar belakang
apapun.Namun, sebagai sebuah praksisi sosial, pendidikan berupaya
memberikan bantukan untuk membebasakan manusia di dalam kehidupan
objektif dari penindas yang mencekikmereka. Oleh karenanya, ia merupakan
pendidikan politik, sebagaimana pendidikan lain bahkan yang mengklaim
diri bersifat netral, meski sebenarnya merupakan budak dari elit
kekuasaan. Jadi pendidikan politik hanya bisa diterapkan secara
sistematis, jika masyarakat sudah mengalami transpormasi atau perubahan
yang radikal. Hanya orang yang tidak tahu yang mengira bahwa elit
kekuasaan akan mendorong terlaksananya suatu jenis pendidikan yang
mengejek mereka secara lebih jalas daripada segala kontradiksi yang ada
dalamstruktur kekuasaan. Pandangan naïf semacam ini juga memunculkan
sikap yang meremehkan kemampuan dan keberanian kaum elit yang justru
sangat berbahaya. Pendidikan yang benar-benar membebaskan hanya bisa
diterapkan di luar sistem kehidupan yang sekarang ada, dan dilakukan
dengan cara yang sangat hati-hati oleh mereka yang sanggup menghilangkan
pandangan naifnya dan mempunyai komitmen untuk benar-benar melakukan
pembebasan.
Orang Papua yang makin
kurang di West Papua dalam berpendidikan Pembebasan harus menetukan
sikap : apakah mengubah pandangan naïf mereka lebih kooperatif dan
dengan sadar bergabung dengan ideologi yang dominan, atau bergabung
dengan kaum tertindas dan dengan penuh dedikasi bersama mereka mencari
kebebasan yang sesungguhnya.Seandainya mereka meninggalkan kepatuhan
kepada kelompok yang dominan, metode belajar mereka yang baru beserta
masyarakat sebagai peserta didik akan menimbulkan tantangan tersendiri;
dalam usah ini mereka ketahui.
Selama belajar dengan
metode yang baru ini, banyak orang Papua cepat menyadari bahwa dulunya
ketika mereka melakukan aksi-aksi artifisial baik social maupun relijius
(misalnya, memegan erat pepatah kuno yang mengatakan, “ Keluarga yang
di dunia melakukan ibada secara bersama-sama, kelak juga akan tinggal
bersama-sama di akhirat”) masih di hargai karna nilai Kristen mereka.
Namun sekarang mereka mulai menyadari bahwa keluarga yang taat beribadah
memerlukan rumah, pekerjaan, pangan, sandang, kesehatan juga kesehatan
bagi anak-anak mereka, bahwa mereka perlu medis untuk mengekspresikan
diri dan mereka perlu membangun dan melukis dunia, bahwa raga, jiwa dan
harga diri mereka harus diharga, jika mereka mau hidup tanpa penderitaan
dan duka. Ketika mereka mulai mengetahui semua ini, mereka akan
menyadari bahwa keyakinan mereka dipertanyakan oleh orang-orang yang
menginginkan kekuasaan politik, ekonomi dan kekuatan relijius untuk
membangun kesadara manusia lain.
Karena metode belajar
yang baru ini mulai bisa lebih menjelaskan situasi dramatis di mana
mereka tinggal, dan menyebabkan mereka melakukan aksi-aksi yang tidak
lagi paternalistik, akhrinya mereka terkesan kejam. Padahal sebelumnya
mereka dicela, karena menjadi budak kekuatan jahan Internasional yang
mengancam peradaban orang Papua, sebuah peradaban yang dalam kenyataan
tidak dipedulikan oleh orang Papua itu sendiri.
Melalui praktik
pendidikan yang baru ini, mereka menemukan bahwa kesucian yang mereka
pertahankan selama ini, tidak sedikit pun bentuk kejujuran. Namun,
banyak orang yang merasa takut untuk mengakuinya; mereka kehilangan
keberanian menghadapi resiko yang pasti ada, ketika mereka patuh kepada
suatu komitmen historis. Akhirnya mereka kembali kepada ilusi
idealistik, tetapi dalam kapasitasnya sebagai anggota kelompok yang
lebih kooperatif.
Mereka perlu pengakuan
atas semua itu. Oleh karena itu, mereka mengklaim bahwa massa, yang tak
berpendidikan dan tidak berkemampuan, harus dilindungi arag tidak
kehilangan kepercayaan mereka kepada Tuhan, yang sangat indah, nikmati
dan membawa perbaikan; mereka harus dilindungi dari kejahatan subversife
orang Kristen yang kagum terhadap Revolusi Kebudayaan di Cina dan Kuba.
Mereka siap membelah tanah air mereka demi kepentingan anak-anak cucu
mereka di kemudia hari. Demikian Budaya, Agama dan cinta tanah air
menjadi no satu bagi mereka.
Kebanyakan kaum mudah di
West Papua ini mayadari betul bahwa masalah yang mendasar di Wets Papua
bukan terletak pada kemalasan masyarakatnya, atau inferioritas mereka,
atau tingkat pendidikan mereka yang rendah, namun masalahnya adalah
karna penjajah. Dan mereka tahu bahwa penjajah ini bukan sebua abstraksi
ataupun slogan, tetapi sebuah realitas yang nyata, suatu keadaan yang
menjajah dan merusak. Sebelum masalah ini dapat di pecahkan, West Papua
dan Negara-negara ketiga di dunia tidak bisa berkembang. Mereka hanya
bisa melakukan proses modernisasi, bukan pembebasan. Tanpa pembebasan,
tidak akan ada pembangunan masyarakay West Papua yang sesungguhnya0.
Penulis adalah Wenas Kobogau Anggota AMP KK Bandung
-----------------------------------------
Pustaka:
Buku Paulo Freire Politik Pendidikan: Kebudayaan.Kekuasaan dan Pembebasan (hal.208-212)
Sumber : www.ampnews.org







Tidak ada komentar:
Posting Komentar