Kita Akan Kehilangan Papua

Images from membunuhindonesia.net
“Sa sedih sekali, seakan kita ini dianggap binatang yang dikurung dalam kandang, sehingga harus sesuka kehendak mereka (aparat dan kelompok reaksioner). Sampai sekarang kami masih dikepung, bantuan logistik yg dibawa oleh mobil PMI juga dipulangkan sama kepolisian.”
Begitu pesan singkat singkat seorang kawan dari Papua, ketika saya menanyakan kondisi mereka via messenger malam tadi. Saat itu saya membuka media sosial dan mendapati informasi tentang represi aparat kepolisian dan kelompok reaksioner terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta. Asrama mahasiswa Papua Kamasan I yang terletak di Jl. Kusumanegara itu, dikepung oleh ratusan polisi dan kelompok-kelompok reaksioner.
Dalam kronologi yang dirilis Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB). Jumat, 15 Juli 2016, para mahasiswa Papua yang tergabung dalam PRPPB berencana melakukan aksi damai bertajuk “Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Papua Barat” dan bermaksud memberikan dukungan kepada Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG) dan memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis pada Papua Barat.
Namun sebelum terlaksana, sejak pagi, pihak kepolisian bersenjata lengkap sudah mulai mengepung Asrama Mahasiswa. Disusul kelompok-kelompok reaksioner yang ikut mengepung lalu meneriaki dan mengeluarkan maki-makian bernada rasialis terhadap kawan-kawan asal Papua. Jalan raya di depan asrama diblokir, hingga pintu gerbang asrama tidak bisa digunakan. Suasana mencekam.
Mahasiswa yang terkurung mulai kelaparan. Bahkan beberapa mahasiswa Papua yang membawakan makanan untuk 150-an kawan mereka didalam asrama, ditangkap oleh pihak kepolisian. Ubi, makanan yang mereka bawakan juga ikut disita. Tidak hanya itu, mobil Palang Merah Indonesia yang membawa logistik hasil solidaritas warga Yogya untuk mahasiswa Papua pun ditahan oleh polisi dandisuruh untuk putar balik.
Sio sayang e. Sebagai manusia, tentu nurani saya merontak tak terima, terlebih setelah membaca pesan singkat kawan di atas. Namun, seakan benar apa yang seperti dikatakan oleh Filep Karma “Seakan Kitorang Setengah Binatang”.
Mereka yang hendak menyampaikan pendapat secara damai diperlakukan secara diskriminatif dan tidak manusiawi. Ini di zaman demokrasi, dimana 18 tahun reformasi sudah bergulir, namun seakan kita masih dibawah rezim militeristik yang kejam dan fasis.
Adalah hak demokratis untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan itu dijamin oleh institusi dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Jelas sikap kepolisian itu sangat berlebihan dan melanggar Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya berharap kepada kawan-kawan yang masih peduli terhadap demokrasi, kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat. Mari terus membangun solidaritas yang lebih besar untuk menjamin demokrasi tanpa diskriminasi dan tanpa rasa takut yang sengaja diciptakan oleh negara ini. Terlebih untuk Papua.
Terlepas dari tragedi di atas. Perlu kitorang tau bahwa sepanjang 2016 ini, ratusan hingga ribuan aktivis Papua ditangkapi dan dipenjara hanya karena mereka ingin menyuarakan aspirasinya dengan aksi-aksi damai. Ruang demokrasi seakan tertutup untuk Papua. Diskriminasi terus berlanjut. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat belum dan menunggu untuk diselesaikan. Dan sementara itu, serbuan investor terus berlanjut, sumber daya alamnya terus dikeruk, gunung digali, hutan terus digusur dan orang Papua terus tercerabut dari ruang Hidupnya. Demi siapa? (katanya) demi pembangunan negara ini.
Mari bersama bersolidaritas untuk Papua, karena Papua adalah Kita.
Diakhir tulisan singkat ini, sa ingin mengutip kata Bang Adnan Buyung Nasution, “Sengaja atau tidak, mau atau tidak mau kita akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua“.
Salam.

Posting Komentar

Distributed by Gooyaabi Templates | Designed by OddThemes