Disusun Oleh :
Kurniawan T Arief
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa
ERA 1945-1966
Sejak kemerdekaan,
muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya
Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui
Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam
masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian
yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan
organisasi dibawah partai-partai politik Di antara organisasi mahasiswa pada
masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat
hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan
organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha memengaruhi PPMI,
kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan organ ekstra
lainnya.
Kemudian Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil
kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb. Tujuan
pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan
terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Munculnya
KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia
(KASI), dan lain-lain.
SURAT PERINTAH 11
MARET 1966 MENGAKHIRI AKSI TRITURA.
Tahun 1966 mahasiswa
secara serempak menuntut Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu: 1.
Bubarkan PKI, 2. Turunkan Harga, 3. Retool Kabinet Dwikora. Aksi-aksi yang
semula berjalan damai mulai meningkat menjadi bentrokan antara KAMI dan Barisan
Soekarno yang terdiri dari mahasiswa GMNI Pro-Soekarno. Kejadian terbunuhnya
Arief Rahman Hakim, mahasiswa Kedokteran UI, oleh Pasukan Cakrabirawa tanggal
24 Februari 1966 memunculkan inisiatif DM ITB dan KAMI Bandung untuk
mengirimkan Satuan Tugas berjumlah 200 Mahasiswa ke Jakarta. Dipimpin Muslimin
Nasution, Deddy Krishna, Fred Hehuat, Adi Sasono, Arifin Panigoro, dan Rudianto
Ramelan. Patung Menlu RI H. Soebandrio yang dibuat anak-anak SR ITB
menjadi trademark aksi-aksi mahasiswa Bandung di Jakarta.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan
mahasiswa Indonesia non komunis berafiliasi dengan Militer AD karena
memiliki kesamaan tujuan misi dan musuh yakni PKI. Sebagian besar
gerakan mahasiswa banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde
Baru dan mengantarkan Soeharto sang anak emas militer menjadi Presiden RI
setelah menumbangkan Sukarno yang pro komunis. Gerakan ini dikenal dengan
istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa
secara nasional. Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun
mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi
DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini ada
salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi
mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang aktivis
yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya
tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok gie
ERA 1974
Realitas berbeda yang
dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi
1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974
yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan
mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para
mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek
kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
* Golput yang menentang pelaksanaan pemilu
pertama pada masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
* Gerakan menentang pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di
lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi
terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang
paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi.
Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat"
yang dimotori Arif Budiman yang program utamanya adalah aksi pengecaman
terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Gerakan mahasiswa di
Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan
"Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten
Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah
versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut
dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden. Menyusul aksi-aksi lain dalam
skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil
inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo.
Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa
terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan
dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang
Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk
rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan
mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk
perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang
pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai
pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa
terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi
rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya
Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh
Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Gerakan Mahasiswa
bergulir kembali untuk menjadi kekuatan kontrol sosial terhadap Pemerintahan
Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto. Menguatnya militer, makin korupnya
pemerintahan, pemborosan uang negara dalam pembangunan Taman Mini Indonesia
Indah, dan kesenjangan sosial mulai dikritisi oleh mahasiswa. Isu kesenjangan
sosial ini meledak di Bandung dalam peristiwa 5 Agustus 1973, kerusuhan berbau
rasial.
Pada tanggal 11
Januari 1974, 35 Dewan Mahasiswa se-Indonesia berkumpul di Bina Graha untuk
berdialog dengan Presiden Soeharto menuntut perbaikan kebijakan dan
pelaksaanaan pemerintahan. Dialog ini akan ditindaklanjuti dalam sebuah aksi
demonstrasi besar-besaran di Jakarta menyambut kedatangan Perdana Menteri
Jepang, Kakuei Tanaka. Demonstrasi menyambut kedatangan PM Jepang ini malah
bergulir menjadi aksi kerusuhan yang dikenal dengan nama Malapetaka 15 Januari
1974 (Malari).
Ditangkap dan dipenjarakannya aktivis UI
seperti Hariman Siregar, Judil Herry Justam, Theo L. Sambuaga, Syahrir,
Dorodjatoen Kuntjoro-Jakti, dan Prof. Sarbini Soemawinata menyebabkan mahasiswa
dilarang berdemonstrasi. Pasca peristiwa malari, Mulailah kampus di
represi dan diskusi mahasiswa dimata-matai oleh intelijen.
1977-1978
Setelah peristiwa
Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris
sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah
sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja
Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana.
Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama
saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali
pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik
diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye,
sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan
gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai
dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik
strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan
pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim
Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun
demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Tanggal 28 Oktober 1977,
delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu
suara, "Turunkan Suharto!". Besoknya, semua yang berteriak, raib
ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap
kembali tentram.
PERINGATAN HARI
PAHLAWAN 10 NOVEMBER 1977, BERKUMPULNYA MAHASISWA KEMBALI
10 November 1977, di
Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Setelah peristiwa di ITB pada Oktober
1977, giliran Kampus ITS Baliwerti beraksi. Dengan semangat pahlawan, berbagai
pimpinan mahasiswa se-Jawa hadir memperingati hari Pahlawan 1977. Seribu
mahasiswa berkumpul, kemudian berjalan kaki dari Baliwerti menuju Tugu
Pahlawan. Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat
konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan
nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa
di Surabaya.
Sementara di kota-kota
lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa
berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba
(kampus UI), membentangkan spanduk,"Padamu Pahlawan Kami Mengadu".
Juga dengan pengawalan ketat tentara.
Acara hari itu,
berwarna sajak puisi serta hentak orasi. Suasana haru-biru, mulai membuat
gerah. Beberapa batalyon tempur sudah ditempatkan mengitari kampus-kampus
Surabaya. Sepanjang jalan ditutup, mahasiswa tak boleh merapat pada rakyat.
Aksi mereka dibungkam dengan cerdik.
Konsolidasi
berlangsung terus. Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema jelas,
menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media
nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa.
Pimpinan Dewan Mahasiswa (DM) ITS rutin
berkontribusi pada tiap pernyataan sikap secara nasional. Senat mahasiswa
fakultas tak henti mendorong dinamisasi ini. Mereka bergerak satu suara.
Termasuk mendukung Ikrar Mahasiswa 1977. Isinya hanya tiga poin namun berarti.
"Kembali pada Pancasila dan UUD 45, meminta pertanggungjawaban presiden,
dan bersumpah setia bersama rakyat menegakan kebenaran dan keadilan".
PERINGATAN TRITURA 10
JANUARI 1978, DIHENTIKANNYA GERAKAN OLEH PENGUASA
Peringatan 12 tahun
Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus
akhir. Penguasa menganggap mahasiswa sudah di luar toleransi. Dimulailah
penyebaran benih-benih teror dan pengekangan.
Pada tahun 1978,
Keluarga Mahasiswa ITB menyusun Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978. Buku
Putih diluncurkan pada aksi mahasiswa ITB, 16 Januari 1978 di lapangan basket
dan dihadiri 2000 mahasiswa. Aksi ini diakhiri dengan pernyataan sikap “Tidak
Mempercayai dan Tidak Menghendaki Soeharto Kembali Menjadi Presiden RI, KM ITB”.
Spanduk bertuliskan pernyataan mahasiswa ini dipasang di depan Gerbang Ganesha.
Akibatnya kampus ITB diserbu dua kali, tanggal 21 Januari oleh Kodam Siliwangi,
dan tanggal 9 Februari oleh Brigade Lintas Udara 18 Kostrad. Kampus diduduki 6
bulan lamanya, mahasiswa lama diusir, dan hanya mahasiswa angkatan ’78 yang
boleh berkuliah di ITB. Tokoh-tokoh mahasiswa ditangkap dan dipenjara 6 bulan.
Perubahan kalender akademik dari Januari-Desember menjadi Juni-Juli. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menetapkan kebijakan Normalisasi
Kehidupan Kampus untuk meredefinisi peran, fungsi dan posisi kampus secara
mendasar, fungsional dan bertahap.
Sejak awal 1978, 200
aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka
diintimidasi lewat interogasi. Banyak yang dipaksa mengaku pemberontak negara.
Tentara pun tidak
sungkan lagi masuk kampus. Bukan hanya ITB kedatangan pria loreng bersenjata.
Rumah rektornya secara misterius ditembaki orang tak dikenal. Di UI, panser
juga masuk kampus. Wajah mereka garang, lembaga pendidikan sudah menjadi medan
perang. Kemudian hari, dua rektor kampus besar itu secara semena-mena dicopot
dari jabatannya. Alasannya, terlalu melindungi anak didiknya yang keras kepala.
Di ITS, delapan
fungsionaris DM masuk "daftar dicari" Detasemen Polisi Militer.
Sepulang aksi dari Jakarta, di depan kos mereka sudah ditunggui sekompi
tentara. Rektor ITS waktu itu, Prof Mahmud Zaki, ditekan langsung oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera membubarkan aksi dan men-drop out para
pelakunya. Sikap rektor seragam, sebisa mungkin ia melindungi anak-anaknya.
Beberapa berhasil
tertangkap, sisanya bergerilya dari satu rumah ke rumah lain. Dalam proses
tersebut, mahasiswa tetap "bergerak". Selama masih ada wajah yang
aman dari daftar, mereka tetap konsolidasi, sembunyi-sembunyi. Pergolakan
kampus masih panas, walau para Rektor berusaha menutupi, intelejen masih bisa
membaca jelas.
Kampus dan warga
kampus seharusnya dapat menjadi bagian dari jaringan teknostruktur pembangunan
dan harus berpartisipasi dalam pembangunan. Kontrol Sosial Universitas tidak
dapat dilakukan karena kampus tidak boleh berpolitik praktis. Untuk berpolitik
cukup masuk ke dalam partai politik. Pemerintahan Suharto menganggap untuk
mengendalikan kegiatan kemahasiswaan, maka Dewan Mahasiswa di seluruh Indonesia
dibubarkan oleh Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo dan dinyatakan ilegal.
Pada tahun 1979, dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang diketuai
Pembantu Rektor Kemahasiswaan (Wakil Rektor III). Kepengurusan Unit Kegiatan
Mahasiswa, Senat Mahasiswa Fakultas dan Himpunan Mahasiswa Jurusan dibimbing
dan bertanggung jawab kepada pembimbing unit, Pembantu Dekan bidang
Kemahasiswaan, dan Tim Pembimbing Kemahasiswaan Jurusan. Kebijakan yang dikenal
sebagai NKK-BKK 1978
Pada periode ini
terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap
telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena
gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi
diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk
menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan
cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa
dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih
untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski
demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar
sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka
untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak
hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional
meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang
Makassar), dan Palembang.
ERA NKK/BKK
Di berlakukannya
konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK)
oleh pemerintah secara paksa berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed
Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya
menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik
karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul
pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo
melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah
membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri
P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga
Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan
penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang
pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu
secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan
hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat
Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun
hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada
rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya
sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga
kemahasiswaan. Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan
organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi
komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati
oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau
golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis,
sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif
terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun
80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh
kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini
mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain
ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk
menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif
di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, mereka juga membentuk
kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Pada tanggal 5 Agustus 1989, kedatangan
Menteri Dalam Negeri Jenderal Rudini ke kampus ITB untuk memberikan penataran
P-4 kepada mahasiswa baru angkatan 1989 disambut dengan demonstrasi pembakaran
ban, pelemparan telur kepada Jenderal Rudini, dan usaha pengusiran. Akibat
demonstrasi ini, Fadjroel Rachman, Jumhur Hidayat, Enin Supriyanto, Ammarsyah
dan Arnold Purba dipenjara selama 3 tahun di Nusakambangan.
1990
Memasuki awal tahun
1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai
gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini
ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa
Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa
secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut.
Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun
dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen
mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya
semacam hidden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan
memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan
kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena
kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas
dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga,
tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994
yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai
landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang
independen.
Dengan dihidupkannya
model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan
Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk
membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa
ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut
kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar
akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa
dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di
luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap
terlarang.
Kampus sebagai
institusi yang merdeka selayaknya membuat suasana berkembang mengarah pada
kehidupan demokratis, egaliter, menghargai dan nilai-nilai ideal lainnya.
Nampaknya secara tidak sadar kita bersama telah membangun kehidupan yang sangat
keras, kejam dan tega. Pada jaman rezim orde baru budaya militerisme sebenarnya
juga diajarkan meskipun tidak mengarah ke fisik tapi berbentuk indoktrinasi
ideology. Dulu kita sangat mengenal adanya penataran P4 yang minimal harus kita
ikuti 45 jam. Itulah sejarah dimulainya budaya militerisme dikelembagaan
kampus. Indoktrinasi ideology yang dilakukan secara terus menerus menjadikan
civitas akademika terbelenggu rutinitas yang sempit.
Adanya SK Bersama 3 menteri yang mengharuskan
dibentuknya Resimen Mahasiswa (Menwa) di Perguruan Tinggi semakin memperkokoh
intervensi budaya militer. Meskipun sudah banyak dikritik tapi lembaga yang
tidak jelas maksud pembentukannya masih berdiri kokoh diantara sekretariat UKM
dan senat mahasiswa. Atau apakah sebaiknya tidak distribusikan saja
tenaga-tenaga Menwa yang gagah berani itu untuk menjaga keamanan kampus bekerja
sama dengan Satpam agar kejadian kriminal di perguruan tinggi bisa
diminimalisir? Begitu orde baru runtuh, indoktrinasi ideology ditolak tapi
tidak di sadari bahwa metode militerisme itu tetap dipakai. Mahasiswa lama
memaksakan untuk tetap diadakannya kegiatan pengenalan kampus apapun bentuknya.
Sayangnya dari sini pihak rektorat tidak menangkap budaya dasar yang memang
telah memerangkap mereka semua.
APA YANG SEHARUSNYA
KITA LAKUKAN?
Seperti telah ditulis
diatas, institusi perguruan tinggi seharusnya mengembangkan nilai-nilai
demokratis, egaliter, menghargai, terbuka sehingga mampu membentuk seorang
mahasiswa mengerti dalam hal teknis apa yang dipelajarinya dibangku kuliah dan
non teknis memahami sebagai seorang sarjana apa yang harus dilakukannya kelak
sesudah lulus untuk masyarakat. Kenapa saat penyelenggaraan orientasi tidak
dibuka ruang untuk mempelajari tentang analisa social masyarakat, pemahaman
demokrasi, HAM, kesetaraan gender dan sebagainya.
Setelah nilai dasar
itu bisa dibentuk berikan kesempatan pada Unit-Unit Kegiatan Mahasiswa
mempromosikan kegiatannya, program Senat Mahasiswa, Pengenalan Organisasi
Ekstra Kampus sehingga ada pemahaman dan kesadaran diri ketika mereka nanti
beraktivitas ada sebuah pilihan yang wajib dijalani. Kalau perlu ajari mahasiswa
baru untuk berdemonstrasi dan mereka akan merasakan hal baru. Bukannya
penggojlokan yang justru menimbulkan dendam-dendam yang pada gilirannya akan
dibalaskan pada adik-adik kelas mereka.
(Dirangkum dari
berbagai sumber)
Sumber: merdekasempurna.blogspot.co.id
Posting Komentar