LBH Yogyakarta : Kecaman Keras Terhadap Keputusan Praperadilan Obby Kogoya
Siaran Pers
Kecaman Keras Terhadap Putusan Praperadilan Obby Kogoya Yang Mengabaikan Fakta-Fakta Krusial Dan Tindakan Polisi Yang Arogan Selama Persidangan
Kecaman Keras Terhadap Putusan Praperadilan Obby Kogoya Yang Mengabaikan Fakta-Fakta Krusial Dan Tindakan Polisi Yang Arogan Selama Persidangan
Selesai sudah sidang pra peradilan bagi Obby Kogoya, seorang
mahasiswa Papua yang mustinya jadi korban tapi justru ditersangkakan oleh
polisi. Kemarin Selasa, 30 Agustus 2016, hakim pemeriksa perkara di Pengadilan
Negeri Sleman menjatuhkan putusan. Pada pokoknya dari kaca mata hakim,
penetapan tersangka yang dilakukan oleh Polda DIY sudah benar sesuai hukum dan
tindakan penangkapan yang dilakukan polisi terhadap Obby Kogoya dikategorikan
sebagai tertangkap tangan. Terhadap keputusan ini tentu kami sangat menyayangkan.
Sebab hakim tidak melihat fakta secara keseluruhan, yang mana selama
persidangan sesungguhnya terkuak sejumlah fakta tidak masuk akal dalam proses
penetapan tersangka itu.
Pertama, seluruh alat bukti yang dijadikan dasar oleh polisi
untuk mentersangkakan Obby Kogoya tidak diperoleh dalam tahapan penyidikan.
Padahal kalau mengacu pada Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Bertolak dari
pengertian penyidikan itu, sangat jelas bahwasanya alat bukti harus diperoleh
saat tahapan penyidikan. Namun prosedur ini dikesampingkan oleh polisi. Dalam
jawaban
Pra peradilan Pihak kepolisian, diakui oleh mereka alat bukti diperoleh tidak dalam tahapan penyidikan, Hakim mengabaikan fakta hukum penting ini.
Pra peradilan Pihak kepolisian, diakui oleh mereka alat bukti diperoleh tidak dalam tahapan penyidikan, Hakim mengabaikan fakta hukum penting ini.
Kedua, alat bukti surat berupa visum et repertum tidak punya
kekuatan pembuktian. Polisi memang melampirkan bukti visum et repertum korban
dugaan kekerasan yang dilakukan Obby Kogoya. Visum et repertum diterbitkan oleh
Biddokkes Polda DIY pada pukul 10.15. Kendati secara fisik dokumen visum ada,
tapi secara teori ia otomatis gugur. Sebab secara materiil alat bukti surat
tidak dapat berdiri sendiri. Diperlukan dukungan dari alat bukti lain.
Sementara tiga saksi yang dihadirkan di persidangan mengatakan bahwa Obby tidak
pernah melakukan pemukulan. Ketika tidak terjadi pemukulan, maka tidak ada
korban yang terluka. Sehingga menjadi tanda tanya besar manakala bukti visum et
repertum justru menyimpulkan adanya luka yang diderita korban. Tapi lagi-lagi
hakim mengabaikan fakta ini.
Ketiga, Obby Kogoya tidak pernah melakukan kekerasan terhadap
petugas. Empat orang saksi hadir di persidangan. Dari empat orang tersebut,
hanya satu saksi saja yang mengatakan Obby memukul petugas. Satu saksi itupun
berstatus sebagai polisi sehingga dipertanyakan keobyektifannya. Berdasarkan
asas Unus Testis, Nullus Testis (satu saksi bukan saksi), maka hakim dalam
menjatuhkan putusan tidak bisa hanya berpijak pada keterangan satu saksi saja
karena satu saksi bukan saksi. Tapi hakim dalam perkara pra peradilan, malah
mengabaikan tiga orang saksi yang jelas-jelas dan tegas menyatakan Obby tidak
pernah melawan/memukul petugas. Malahan Obby Kogoya-lah yang jadi korban. Ia
kena pukul. Disiksa. Diperlakukan tidak manusiawi.
Keempat, penetapan tersangka Obby Kogoya sarat dengan
manipulasi. Terungkap ternyata laporan baru masuk ke Polda DIY pada pukul 15.30
atau beberapa jam setelah Obby diperiksa sebagai tersangka pada pukul 13.00.
Sementara polisi mendalilkan sebagai tertangkap tangan, tapi di sisi lain form
laporan yang dipakai adalah laporan model B. Laporan model B digunakan untuk
tindak pidana yang diadukan/dilaporkan. Sedangkan laporan model A untuk tindak
pidana yang diketahui oleh petugas atau tertangkap tangan. Seharusnya model A
yang dipakai, bukan model B. Sekali lagi kita melihat bahwa penetapan tersangka
Obby Kogoya sangat dibuat-buat dan subjektif, melanggar Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang hakikatnya melanggar prinsip due proses
of law, yang mana jelas-jelas melanggar Hak Asasi Manusia dan terkesan
dipaksakan untuk melumpuhkan ruang demokrasi warga Papua yang tinggal di
Yogyakarta.
Kelima, selama persidangan tampak sekali arogansi dan
diskriminasi rasial yang dilakukan oleh polisi. Beberapa kali sidang, polisi
melakukan pemeriksaan hanya terhadap warga Papua yang hendak masuk ke pengadilan
atau ruang sidang. Puncaknya terjadi ketika sidang putusan kemarin Selasa, 30
Agustus 2016. Selain pengunjung dan orang yang masuk pengadilan harus melewati
gate pendeteksi logam, saat persidangan akan berlangsung, empat orang polisi
brimob dengan arogannya tiba-tiba memposisikan diri di belakang hakim dengan
senjata lengkap. Bahkan ada dua polisi ditempatkan di samping kuasa hukum
pemohon dan termohon yang diketahui membawa pistol. Terhadap hal ini polisi
telah melecehkan lembaga peradilan, melakukan contempt of court. Padahal tata
tertib di pengadilan sudah sangat jelas bahwasanya senjata api tidak
diperkenankan untuk dibawa ke ruang sidang. Kami sebagai kuasa hukum sudah
memprotes adanya aparat kepolisian atribut lengkap dan membawa senjata yang sangat
berlebihan, bahkan samping kiri dan kanan hakim pemeriksa perkara. Sampai
akhirnya diminta oleh hakim untuk polisi tidak perlu ada disebelahnya.
Berangkat dari pelbagai hal tersebut di atas, kami sangat kecewa
dengan keputusan hakim pemeriksa perkara pra peradilan Obby Kogoya yang
mengesampingkan fakta-fakta krusial yang kalau itu dipertimbangkan tentu akan
sampai pada kesimpulan bahwasanya penetapan tersangka Obby Kogoya telah
menyalahi hukum. Terhadap polisi, kami mengecam keras atas tindakannya yang berlebihan
dan tidak menghormati martabat dan kehormatan lembaga peradilan dengan bersikap
arogan, menenteng senjata di dalam ruang persidangan. Adanya pengerahan aparat
kepolisian secara berlebihan jelas mempengaruhi independensi lembaga peradilan.
Ke depan sangat mungkin perkara Obby Kogoya lanjut ke
persidangan pokok perkara. Penetapan tersangka yang sarat rekayasa dan bertolak
dari proses pra peradilan di Pengadilan Negeri Sleman, kami mengajak seluruh
masyarakat untuk memantau dan mengawal perkara ini hingga di tingkat pengadilan
terhadap pokok perkara.
Yogyakarta, 31 Agustus 2016
Kuasa hukum pemohon (Obby Kogoya)
LBH Yogyakarta
Kuasa hukum pemohon (Obby Kogoya)
LBH Yogyakarta
Narahubung: Emanuel Gobay (082199507613)








Tidak ada komentar:
Posting Komentar