Protesi Perjanjian Roma, Puluhan Mahasiswa Papua Duduki Kantor Konsulat AS Di Bali
Puluhan Mahasiswa Papua
yang tergabung dalam Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan ujuk
rasa di depan Kantor Konsulat Amerika Serikat, Jln. Hayam Wuruk, (30/09/2019)
Kota Bali.
Puluhan Mahasiswa Papua
yang awalnya melakukan long march, Sekitar pukul 9:15 wit,
dari depan Parkiran Timur Remon Denpasar itu, aksi digelar dalam rangka
memprotesi penandatangan Perjanjian Roma (Roma Agreement) yang ditandatangani
oleh Belanda, Indonesia da Amerika, pada 30 September 1962 silam, diduga,
sangat sepihak.
Dalam Pers liris yang
diterima, Gilo sekali Kordinator aksi, mengatakan perjanjian tersebut merupakan
illegal. “Perjanjian New York dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari
rakyat Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup
rakyat Papua.” Tulisnya dalam Rilis.
Perjanjian Roma Setelah
Perjanjian New York
Perjanjian Roma
dilakukan setelah Perjanjian New York. Perjanjian New York ini mengatur masa depan wilayah Papua
Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21
mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan
pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Dan
pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan
Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia.
Setelah transfer
administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia yang diberi tanggungjawab
untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib dan pembangunan di Papua tidak
menjalankan sesuai kesepakatan dalam Perjanjian New York.
Namun, pada 30
September, pertemuan antara Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat di Ibu Kota
Itali, Roma, menandatangani 7 poin perjanjian yang sangat kontroversi dengan
Perjanjian New York. Ketiga Negara tersebut berdiskusi tentang, pertama,
bagaimana Indonesia haru memenangkan hasil Pepera 1969; kemudian pengontrolan
kekuasan Papua dibawa Indonesia. Dan selanjutnya Amerika Serikat menjamin Asian Development Bank US $. 30 Juta untuk
diberikan kepada United Nation Pembangunan Programe (UNDP) untuk meredam
Gerakan Pro Papua Merdeka (baca: Papua diterapkan Daerah Operasi Militer sejak
tahun 1962-1998); membangun infrastruktur untuk akses Eksplorasi mineral,
minyak bumi dan sumber daya lainnya dari Papua Barat.
Proses
Pelaksanaan Pepera 69 adalah Legalisasi Jalan Jajah Papua
Ada
asumsi menarik, mengapa Mahasiswa Papua, tulisnya dalam Liris, mengatakan
Perjanjian Roma merupakan diskusi antara Indonesia, Amerika Serikat dan
Belanda, membahas tak hanya sekedar merebut kekuasan Papua dalam Indonesia.
Kepentingan terselubung AS dan RI adalah kepentingan Imperialisasi tanah
Papua.
Hal
itu dijelaskan dalam kesepakatan di Roma. Poin pertama berbunyi “Referendum
atau Pepera ditetapkan untuk tahun 1969 di Perjanjian New York Agustus 1962.
Untuk ditunda atau mungkin dibatalkan.” Poin kedua “Laporan akhir PBB mengenai
pelaksanaan Pepera disampaikan kepada Majelis Umum PBB diterima tanpa debat
terbuka” ; Poin Empat, “Negara Serikat bertanggung jawab
untuk melakukan investasi melalui perusahaan Negara Indonesia untuk Eksplorasi
mineral, minyak bumi dan sumber daya lainnya dari Papua Barat.” Dan Poin
keenam berbunyi “Amerika Serikat menjamin dana Bank Dunia untuk
Indonesia untuk merencanakan dan melaksanakan program transmigrasi di mana
Indonesia dimukimkan di Papua Barat mulai dari tahun 1977.”
Sehingga, setelah
transfer administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia malah melakukan
pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan
prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib
dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara
imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah
Indonesia.
Klaim atas wilayah
Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun
sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga, dari 809.337 orang Papua
yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah
dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk
Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis,
penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Keadaan yang demikian
; teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap rakyat
Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera reformasinya indonesia. Hak Asasi
Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia.
Sehingga, Wakorlap aksi,
Obet mengatakan, Mahasiswa Papua menuntut kepada Rezim Jokowi-Jusuf Kala dan Belanda untuk
segerah Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh
Tanah Papua Sebagai Syarat Damai serta Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC,
dan yang lainnya, yang Merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah
Papua.
“ Dan segerah
Memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis
bagi Rakyat Papua.” Tulisnya di rilis.
Aliansi Mahasiswa Papua
juga menuntut kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar PBB harus bertanggung jawab serta terlibat
aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri,
pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West
Papua.
Pewarta: Jhon Lama







Tidak ada komentar:
Posting Komentar