Sang Pejuang Telah Tiada

Ilustrasi – IST
Oleh : Budi Hernawan
SAYA masih tidak percaya bahwa ade Robert Jitmau yang akrab dipanggil Rojit telah tiada. Saya menerima berita ini pagi-pagi di dalam kereta api dari Jakarta ke Yogyakarta. Saya sangat terpukul dengan berita itu. Beberapa hari lalu dia masih menelpon saya di Jakarta untuk minta satu pertimbangan dan suara itu masih sangat jelas di ingatan saya hingga sekarang. “Kakak, bisa bantu dulu kah…” Itu kalimat yang masih terngiang-ngiang di benak saya.
Orang yang baru bertemu pertama kali dengannya akan langsung akrab akan sosok jenaka, lugas, ceria, kritis dan terbuka untuk belajar hal baru. Bagi yang sudah lama kenal dia mulai dari Sorong, Salatiga hingga Jayapura, sosok Rojit memang tidak bisa lagi dilepaskan dari perjuangan orang Papua mulai dari gerakan mahasiswa dan orang muda, pendampingan masyarakat kampung, dinamika kampus UNCEN hingga gerakan perlawanan mama-mama Pasar di Kota Jayapura.
Saya mulai kenal Rojit ketika saya menjabat sebagai Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura (SKP) periode 2005-2009. Waktu itu Rojit sudah lulus sebagai sarjana hukum dari Universitas Satya Wacana di Salatiga. Latarbelakang sebagai aktivis mahasiswa memudahkannya untuk ambil bagian dalam program kerja SKP dalam bidang dokumentasi HAM dan pendampingan mahasiswa dan warga paroki se-Keuskupan Jayapura. Dengan penuh semangat dan keceriaan, dia mengerjakan tugas-tugas tersebut.
Saat SKP memulai program pengorganisasian mama-mama pasar di Ruko Dok II waktu itu, Rojit belum menjadi penanggung jawab program tersebut. Program ini dirintis oleh SKP saat mama-mama di Ruko Dok II hendak dipindahkan ke Pasar Sentral yang baru dibangun di Kotaraja. Sebagian mama-mama pasar yang tidak memiliki modal cukup untuk berdagang di Pasar Sentral di Jalan Baru Kotaraja, memilih bertahan di halaman parkir depan supermarket Gelael Jayapura.
Pilihan ini tidak lepas dari risiko. Beberapa kali mama-mama diusir oleh Satuan Polisi Pamong Praja bahkan pernah disemprot air saat terjadi upaya penggusuran. Mama-mama juga berkali-kali demo ke DPRD Kota Jayapura, Pemkot Jayapura, kantor Gubernur Papua dan DPR Papua hingga Majelis Rakyat Papua. Hasilnya adalah janji demi janji. Namun perjuangan mama-mama pasar justru semakin kuat dan berkembang menjadi Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap) yang melibatkan berbagai pihak di Jayapura.
Lebih dari itu gerakan mama-mama pasar di Jayapura telah mengilhami mama-mama pasar di tempat-tempat lain di Papua untuk mulai mengorganisir diri dan menyatakan haknya. Gerakan ini tidak lagi menjadi gerakan mama pasar di Kota Jayapura melainkan simbol perlawanan rakyat Papua terhadap represi modal dan kekuasaan negara.
Dengan latar belakang hukumnya, saat di SKP Rojit lebih banyak ditugaskan untuk penguatan masyarakat basis mahasiswa, warga paroki, warga kampung yang dilayani SKP Jayapura. Dia cepat belajar hal-hal baru dan situasi baru yang belum pernah dialami sebelumnya seperti kondisi masyarakat di Pegunungan Bintang yang cukup berbeda dengan situasi yang dialaminya di kampung asal. Kondisi topografis yang amat terjal, sarana angkutan yang hanya dihubungkan oleh pesawat Cessna pada waktu itu, sementara tingkat militerisasi terjadi dengan sangat intensif. Demikian juga karakter dan kondisi sosial masyarakat Keerom yang memiliki kekhasannya tersendiri sebagai masyarakat di wilayah perbatasan dengan dinamika perkebunan kelapa sawit, transmigrasi, dan militerisasi.
Selepas dari tugasnya di SKP Jayapura, Rojit mengabdikan dirinya di Universitas Cenderawasih sebagai dosen Fakultas Hukum. Namun karena jiwa pejuang, dia tak pernah berhenti menggerakkan orang untuk berpikir kritis. Ketika saya bertemu dia lagi sepulang dari Canberra tahun 2010, dia sudah aktif mengorganisir Mama-mama Pasar bersama Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap). Kegiatan inilah yang menjadi ‘kampus’ nya yang utama. Tiap malam dia berada di Pasar Sementara di Jalan Percetakan, Jayapura. Perjuangan mama-mama pasar telah menjadi jiwanya.
Banyak orang barangkali tidak pernah berpikir bahwa Rojit secara sengaja memilih untuk mendampingi mama-mama pasar. Dia melakukannya bukan karena tidak ada pekerjaan lain atau bukan karena mengisi waktu saja. Dia memang berkomitmen untuk mendampingi mama-mama pasar sampai pasar permanen dibangun buat mereka ini. Dia tidak mencari gengsi jabatan, fasilitas bahkan menunda rencana membangun kehidupan pribadi dengan berkeluarga. Waktu saya tanya apakah dia minat melanjutkan studi lanjut, dia menjawab, “Iyo, pasti kakak. Tapi sa tunggu pasar jadi dulu baru sa lanjut”.
Kalimat ini sangat teguh. Tidak banyak pemuda seumuran dia yang berani bertaruh sedemikian tinggi untuk isu yang bagi banyak orang tidak dianggap terlalu seksi. Isu mama pasar kurang laku di arena pilkada atau politik papua pada umumnya. Mulai dari Walikota MR Kambu hingga Walikota Jayapura sekarang justru menghadapi masalah dengan mama-mama pasar dan Solpap. Gerakan ini tidak hanya sampai di tingkat kota tapi menjadi duri dalam daging bagi Gubernur Papua sejak zaman Barnabas Suebu hingga kini dan bahkan ke tingkat Presiden.
Bayangkan di wilayah mana di Indonesia ini, sebuah pasar ditangani oleh Presiden. Tapi itulah fakta perjuangan Rojit bersama mama-mama pasar. Dia tetap teguh meski banyak pihak memanfaatkan gerakan ini untuk kepentingan masing-masing entah di tingkat lokal maupun di tingkat nasional di luar pengetahuannya. Rojit tetap pada komitmennya yang sederhana: pasar permanen bagi mama-mama Papua di tengah kota Jayapura.
Tuntutan ini pada awalnya sulit menggerakkan perhatian tidak hanya di kalangan pejabat tetapi juga aktivis Papua. Dibandingkan persoalan internasionalisasi Papua, mama-mama pasar tidak pernah bersuara ke sana. Mereka teguh meminta satu hal saja: pasar di dalam Kota Jayapura. Bukan di Hamadi, bukan di Kotaraja. Bagi banyak kalangan tuntutan ini barangkali dianggap enteng karena dinilai tidak akan menggoyang kursi siapapun tetapi mudah dipakai sebagai bahan kampanye untuk menjadi populer. Mama-mama Pasar bukan konstituen penting dalam pilkada, tidak memiliki modal kuat untuk memengaruhi kalangan pengambil kebijakan, dan ‘hanya’ bersenjatakan semangat.
Di era Jokowi, perjuangan mama-mama pasar mulai mendapatkan titik terang. Saat kampanye pilpres, Jokowi datang ke pasar mama-mama dan dua orang wakil mama-mama Papua diundang ke acara pelantikan Jokowi. Tetapi bulan madu ini tak berlangsung lama. Pihak-pihak yang melihat peluang untuk kepentingan diri mereka secara sigap menelikung perjuangan mama-mama pasar hingga lebih dari setahun lamanya janji pembangunan tak kelihatan wujudnya.
Meski banyak kalangan di Papua sudah hilang kepercayaan terhadap janji Jokowi, Rojit bersama mama-mama pasar tetap tekun berjuang. Sekurang-kurangnya dua kali tim Solpap ke Jakarta dengan biaya sendiri untuk menagih janji itu dan dua kali itu pula mereka dikecewakan. Tapi mereka tidak patah arang. Inilah yang saya kagumi. Akhirnya somasi ke Presiden Jokowi mulai digemakan lewat media sosial yang berdampak luas karena berbagai pihak ikut serta di dalamnya tidak hanya di Papua dan oleh orang Papua tetapi berbagai kalangan aktivis, buruh, pelajar, mahasiswa, akademisi di luar Papua. Saat itu Rojit agak gamang untuk melayangkan somasi meski banyak pihak terus mendorong.
Perjuangan mama pasar dari tahun 2005 itupun tak sia-sia. Setelah lebih dari satu dekade, pembangunan pasar mama-mama mulai menampakkan wujud nyata pada 26 April 2016. Lokasi Damri di Jayapura mulai diratakan. Saat itulah Rojit menelpon saya dengan nada sangat puas, “Kakak, sa mau kastau kalo pasar mulai dibangun”. Kepuasaan Rojit sangat nyata. Sekurang-kurangnya dalam lima tahun terakhir, bisa dikatakan dialah satu-satunya orang yang membaktikan 24 jam hidupnya untuk mama-mama pasar meski menghadapi berbagai macam kritik pedas dan risiko.
Rojit sudah pergi. Sang Pejuang telah tiada tetapi warisan perjuangannya justru makin bermakna. Yang paling nyata adalah gerakan perjuangan rakyat selalu berbuah nyata dan tak pernah sia-sia. Meski telah dikooptasi oleh berbagai kepentingan, gerakan mama-mama pasar tetap setia pada cita-cita awal dan tak goyah oleh tawaran muluk segala pihak.
Kepergian Rojit menorehkan satu lagi tuntutan keadilan dalam sejarah bangsa Papua. Tuntutan itu tidak hanya mengenai nasib pasar mama-mama Papua tetapi juga nasib dirinya. Siapa yang menjadikan dia tumbal untuk gerakan perlawanan rakyat Papua?
Selamat jalan Sang Pejuang! (*)
Dr. Budi Hernawan adalah mantan direktur SKP Jayapura (periode 2005-2009), sahabat almarhum, pengajar program pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta.

Posting Komentar

Distributed by Gooyaabi Templates | Designed by OddThemes